Ketir-Ketir Efek Mobil Murah

LCGC sebetulnya tidak bisa ditunjuk sebagai satusatunya pelaku utama jika konsumsi BBM bersubsidi terus membengkak. SETELAH meledak dalam waktu relatif singkat, penjualan mobil murah ramah lingkungan (low cost green car/LCGC) memprovokasi munculnya kekhawatiran bakal semakin parahnya sebuah `kebiasaan': pemakaian bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi melebihi alokasi anggaran.

Ketir-ketir soal efek LCGC tersebut membuat opsi-opsi pelarangan BBM bersubsidi untuk mobil murah mengemuka. Satu alternatif yang digulirkan ialah memperbesar nozzle BBM bersubsidi, premium, di stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) agar tak muat dengan lubang tangki bensin LCGC. Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyatakan persetujuan dan dukungannya terhadap langkah itu.

“Kita yang mengusulkan nozzle itu dibedakan,“ klaim Direktur Jenderal Industri Unggulan Berbasis Teknologi Tinggi Kemenperin Budi Darmadi kepada Media Indonesia, Jumat (11/4) di Cibitung, Bekasi. Budi menyatakan realisasi wacana pengubahan ukuran nozzle premium membutuhkan waktu dan koordinasi lintas institusi. Kemenperin perlu terlebih dahulu berkoordinasi dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Minyak (ESDM), juga Pertamina.

Kegiatan jual beli mobil murah memang luar biasa. Data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor (Gaikindo) JanuariMaret 2014 membeberkan LCGC membuat pertumbuhan penjualan city car meroket. Bahkan, LCGC mendepak sport utility vehicle (SUV) dari peringkat kedua segmen mobil terlaris nasional.

Dengan angka jual beli 59.530 unit, transaksi komersial city car tumbuh hingga 373,78% secara year on year. Sebanyak 43.999 unit di antaranya LCGC. Total pasar mobil kuartal I sendiri 328.554 unit.
Seperti diberitakan, Gaikindo memproyeksikan pada tahun kuda kayu ini LCGC setidaknya laku 120 ribu unit berbanding dengan perkiraan penjualan roda empat nasional 1,2 juta unit. Frost and Sullivan pun mengeluarkan analisis bahwa LCGC sebagai pendorong industri roda empat Indonesia melewati volume penjualan Thailand pada 2018 nanti.

Bukan pelaku utama Meski mengklaim setuju memodifikasi nozzle premium, Budi menilai, LCGC sebetulnya tidak bisa ditunjuk sebagai pelaku utama jika konsumsi BBM bersubsidi membengkak.
“LCGC hanya 1% dari populasi mobi nasional yang 100 juta unit mobil. Palin banter populasi LCGC nantinya 15%. Si sanya kan seperti MPV, SUV, dan sedan, kata Budi.

Namun, pengamat otomotif Suhari Sar go berpendapat, meski secara populas masih `minoritas', LCGC tetap menambah beban pemakaian BBM bersubsidi. Dalam praktiknya, mayoritas pengguna LCGC mengisi bensin jenis premium.
Kendati demikian, sambung Suhari pokok permasalahan sesungguhnya ada di standar emisi gas buang Euro 2 yan masih diterapkan pemerintah. Standa Euro 2 menyebabkan premium, bensin bersubsidi dengan oktan di bawah 90 masih ada sehingga terus didayagunakan masyarakat.

“Sudah ada peraturan Kementerian Lingkungan Hidup untuk masuk Euro 3 yang oktan bensinnya di atas 90 sepert pertamax. Sekarang tinggal program jelas Kementerian ESDM, ditunjang Ke menperin untuk menyetop premium, tukasnya ketika dihubungi Media Indo nesia, Senin (14/4).

Karena masih berstandar Euro 2, lan jut Suhari, mobil-mobil baru di Tanah Air masih dibuat `toleran' terhadap premium.
Dampak penjualan Kembali ke keramaian wacana pembe saran nozzle premium, Gaikindo menyal takan siap mendukung jika rencana itu g diberlakukan. “Itu kan kebijakan peme rintah. Kalau nanti pemerintah maunya “ seperti itu, kami ikut saja,“ ucap Ketua IV Gaikindo Rizwan Alamsjah di Cibitung, Bekasi.

i Saat dihubungi, Direktur Pemasaran PT Toyota Astra Motor Rahmat Samulo be lum bisa memastikan dampak pemakaian pertamax pada LCGC terhadap preferensi konsumen dan penjualan LCGC mereka, , Astra Toyota Agya. Hal itu, lanjutnya, bergantung pada seberapa banyak peg nambahan pengeluaran konsumen r jika mengendarai mobil murah dengan pertamax.

, Toyota, menurutnya, memiliki banyak model lain dengan total volume pen jualan lebih besar. “Agya sebulan 5.000 unit, sedangkan kami jualan di atas 30 , ribu unit, tetapi Agya tetap penting dan i tetap kami lihat.“ Ketua I Gaikindo Yongkie D Sugiarto menilai dampak penjualan pasti ada.

“ “Namun, karena LCGC ini sangat irit BBM, mungkin tak terlalu besar dampaknya,“ tukas Yongkie dalam pesan singkat. Meski nada optimistis tetap didengung kan produsen, siapa yang bisa menjamin penjualan LCGC bakal semengilap tiga bu lan pertama 2014 jika nantinya mereka di larang meminum BBM bersubsidi? (S-2) Media Indonesia, 17/04/2014, hal : 20

Alihkan Insentif Mobil Murah

Porsi wajib bahan bakar nabati dalam bensin akan dinaikkan dua kali lipat tahun depan. Saat ini porsi bioetanol minimal 0,5% untuk premium.

PEMERINTAH diminta mengalihkan insentif fiskal yang sekarang ini diberikan kepada mobil murah ramah lingkungan (low cost green car/ LCGC) untuk produksi mobil hibrida. Dengan begitu, efek menekan konsumsi BBM lebih besar ketimbang memproduksi mobil murah yang masih saja mengonsumsi BBM subsidi.

Direktur Eksekutif Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto mengemukakan hal itu ketika dihubungi Media Indonesia, kemarin. “Kalau sama-sama harus mengeluarkan insentif memang relatif lebih baik jika insentif diberikan ke mobil hibrida. Harapannya tentu ini jangan hanya wacana.” Pekan lalu, pemerintah melontarkan rencana kebijakan yang mewajibkan agen tunggal pemegang merek (ATPM) memproduksi mobil berbahan bakar ganda alias hibrida. Setiap mobil keluaran terbaru yang beredar di Tanah Air harus serta-merta dapat mengonsumsi BBM dan gas.

Menurut Pri, pemerintah sering gonta-ganti wacana dan tidak konsisten menjalankan kebijakan. Ia mencontohkan kebijakan LCGC berjalan tidak semestinya karena tidak dibarengi larangan konsumsi BBM subsidi.

Berdasar Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 4 Tahun 2013, LCGC akan memperoleh insentif bebas pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) asal memenuhi persyaratan konsumsi BBM. Rancangan ketentuan LCGC di antaranya konsumsi BBM untuk mesin 1.000 cc 22 km/liter, menggunakan BBM oktan 92 atau setara pertamax yang tidak disubsidi negara.

Vice President Director PT Hyundai Mobil Indonesia Mukiat Sutikno menyatakan pihaknya tidak mempermasalahkan pengelompokan kebijakan yang diterbitkan asalkan pemerintah memberi insentif menarik dan memastikan ketersediaan infrastruktur penunjang. “Infrastruktur paling utama. Sekalipun insentif menarik, infrastruktur enggak ada sama saja.” Mukiat membandingkan dengan infrastruktur pengisian gas di ‘Negeri Gajah Putih’ yang lebih pesat. Thailand memiliki sekitar 300 stasiun pengisian.

Selain kebijakan mobil hibrida, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berencana menaikkan porsi wajib bioetanol dalam bensin sebanyak dua kali lipat tahun depan.

Saat ini 0,5% untuk bensin subsidi dan 1% untuk bensin nonsubsidi. Itu lebih sedikit ketimbang porsi wajib biodiesel untuk solar dan BBM diesel lainnya yang sebesar 10%.

Pemanfaatan bioetanol tidak seprogresif biodiesel lantaran harga bioetanol belum menarik bagi produsen bioetanol. Saat ini hanya bioetanol dipatok Rp7.300/liter, sedangkan biaya produksi mencapai Rp8.500/liter.

“Kami optimistis dengan harga bioetanol yang akan disepakati bersama Kemenkeu nanti, mandatory-nya akan jalan,“ kata Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Rida Mulyana ketika dihubungi, kemarin. (Wib/E-1/MEDIA INDONESIA,01/04/2014, HAL:17)